Rabu, 03 Juni 2009

Kisahku dan Sepeda Jengki





Tahun 1999, adalah tahun pertama dimana aku baru masuk bangku SMU. Hari itu adalah hari dimulainya pendaftaran sekolah. Dari sebuah pedukuhan kecil tak jauh dari hutan, aku mulai mengayuh sepeda Jengki warna biru menuju kota. Aku tidak pernah punya bayangan seperti apa SMU di kotaku waktu itu, selain bayangan yang aku lihat di televisi. Menyusuri jalanan pedesaan yang tidak terlalu ramai sepedaku terus berjalan. Hingga sampailah aka di depan sebuah SMU yaitu SMU 1, aku hanya mengamati dari jalan raya, memang sudah tampak ramai. Kemudian aku lanjutkan ke STM, SMU 2 dan SMU 3, aku berbolak-balik sampai beberapa kali. Kemudian aku berhenti di tepi jalan di bawah sebatang pohon, aku memikirkan apa yang sudah aku lihat. Terus terang saja aku adalah orang yang suka merasa rendah diri bukan rendah hati. Melihat mobil dan sepeda motor yang banyak terparkir di halaman SMU 1 dan SMU 2 aku menjadi ciut. Aku merasa apa aku pantas dan bisa bergabung dengan mereka. Padahal nilaiku waktu itu cukup bagus, angka kelulusan tertinggi dari SMP ku, cukup leluasa untuk masuk SMU favorit. Tapi lagi-lagi memang mentalku yang buruk, akhirnya aku teringat seorang teman yang ada di SNU 3. Aku memutuskan untuk masuk dan melihat informasi di sana, akhirnya aku pustuskan untuk mendaftar. Kepala sekolah bertanya apakah aku yakin masuk di situ dengan nilai yang cukup lumayan, aku jawab yakin. Dan akhirnya jadilah aku siswa di sekolah itu.

Hari-hariku tidak mudah dilalui, namun aku ingin membanggakan keluargaku. Sejujurnya aku bisa mendaftar di sekolah itu dengan uang sisa beasiswa dari SMP. Orang tuaku waktu itu tidak punya uang karena terlalu banyak kebutuhan untuk biaya keempat orang adikku yang juga masih sekolah. Aku cuma bertekad untuk sekolah SMU, dalam hatiku cuma ada kemauan itu. Aku tidak tahu mau jadi apa aku nanti, yang penting aku mau sekolah. Kami hanya hidup dari bertani, mencangkul, membajak sawah lalu menanaminya, sejujurnya itu adalah pekerjaan yang berat dan sangat tergantung alam. Aku merasakan betapa sulitnya menjadi petani dan waktu itu aku berfikir tentang profesi lain yang lebih baik dari bertani. Satu-satunya jalan adalah melalui pendidikan. Walaupun demikian bertani menurutku adalah tetap pekerjaan yang cukup mulia.

Sepeda onthelku adalah temanku melalui jalanan belasan kilo menuju sekolah. Banyak suka dan duka yang kami lalui bersama, disaat hujan dan disaat terik. Waktu itu aku sangat ingin memiliki sepeda motor seperti teman-temanku yang lain, bahkan aku memikirkannya setiap hari. Tapi semua yang telah aku lalui baru terasa sekarang, aku merasa senang bisa melewati waktu-waktu sulitku bersama sepedaku itu. Sepeda itu yang telah mengantarkan aku menjadi anak yang lebih berarti bagi kedua orang tuaku. Sepeda itu juga yang menjadi kontrol kehidupan sekolahku, karena aku harus berfikir berkali-kali untuk keluyuran dsb. Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar